Selasa, 10 September 2013

Untuk apa terang jika gelap menenangkan...

Sebatang lilin ditengah rumah berdiri tegak dengan seberkas cahaya redup, berpendar-pendar tertiup angin, lembut. Senyuman genitnya melahirkan resah untuk menari. Kegelapan yang memenuhi ruangan seolah-olah membiarkan cahaya kuning yang mungil itu menggodanya. Hanya angin-angin kecil yang mengiringinya, membuainya, dan meredakan kesedihannya. Bayang-bayang menyatu dengan kegelapan malam, menghiasi dinding-dinding ruangan, menegaskan garis-garisnya yang terbentuk oleh temaram dan malam.
Aku merasakan kegelapan ini dengan takjub, sudah sangat lama aku tidak merasakan kegelapan malam yang begitu murni dirumahku. Bahkan aroma malam saat itu begitu menusuk hidungku, membawa kepada sebuah cerita tentang masa lalu. Masa lalu saat tak ada cahaya, saat kegelapan menjadi cahayaku. Bentuk dan warna kehilangan jati dirinya, tertelan warna hitam yang tak berujung, atau bahkan mungkin memang bukan ujung melainkan awal yang tak berawal.
Tak ada jarak, ruang, waktu, ataupun dimensi lain, yang ada hanya gelap gulita, hitam sehitam-hitamnya. Penglihatanpun bertanya tentang apa yang dilihatnya, tentang apa itu melihat, memandang, menatap dan akhirnya petanyaan pun menghilang, sekali lagi tertelan warna hitam yang gelap, tak memantul, semua terserap. Hening. Suara –suara teredam malam, membisingi telinga kehidupan yang tuli

0 komentar:

Posting Komentar