Pages

Selasa, 10 September 2013

Penantian dan harapan

Semenanjung hatiku menanti sebuah perahu layar berisi seorang bidadari hati. Setiap hari hiruk pikuk perahu datang dan pergi, namun tak ada satupun yang membawa bidadari hatiku, mereka hanya membawa sisa-sisa cinta yang lapuk oleh kenangan. Mata-matanya terlihat lelah dengan penyesalan, sedikit yang memandang dengan binar cahaya kepuasan tanda ia telah menaklukkan lautan kenangannya menjadi sebuah cinta sejati yang utuh.
Masih tetap menanti, dan menanti……

Terlihat cinta sedang berjalan di bibir pantai kenangan, sebentar berlari-lari kecil, sebentar jingkrak, bercanda dengan ombak kenangan. Buih-buih kenangan terpecah belah terkena kaki mungilnya. Sosok itu seperti menyatu dengan pemandangan disekitarnya, dia bergerak seiring angin yang menciptakan ombak, suaranya melengking mengisi deburan ombak bersahutan, bayangannya jatuh mengikuti lekukan pasir yang terinjaknya.

Untuk apa terang jika gelap menenangkan...

Sebatang lilin ditengah rumah berdiri tegak dengan seberkas cahaya redup, berpendar-pendar tertiup angin, lembut. Senyuman genitnya melahirkan resah untuk menari. Kegelapan yang memenuhi ruangan seolah-olah membiarkan cahaya kuning yang mungil itu menggodanya. Hanya angin-angin kecil yang mengiringinya, membuainya, dan meredakan kesedihannya. Bayang-bayang menyatu dengan kegelapan malam, menghiasi dinding-dinding ruangan, menegaskan garis-garisnya yang terbentuk oleh temaram dan malam.
Aku merasakan kegelapan ini dengan takjub, sudah sangat lama aku tidak merasakan kegelapan malam yang begitu murni dirumahku. Bahkan aroma malam saat itu begitu menusuk hidungku, membawa kepada sebuah cerita tentang masa lalu. Masa lalu saat tak ada cahaya, saat kegelapan menjadi cahayaku. Bentuk dan warna kehilangan jati dirinya, tertelan warna hitam yang tak berujung, atau bahkan mungkin memang bukan ujung melainkan awal yang tak berawal.
Tak ada jarak, ruang, waktu, ataupun dimensi lain, yang ada hanya gelap gulita, hitam sehitam-hitamnya. Penglihatanpun bertanya tentang apa yang dilihatnya, tentang apa itu melihat, memandang, menatap dan akhirnya petanyaan pun menghilang, sekali lagi tertelan warna hitam yang gelap, tak memantul, semua terserap. Hening. Suara –suara teredam malam, membisingi telinga kehidupan yang tuli

Ini hidup

Entah sudah berapa lama, aku merasa seperti bangkai berjalan. Melewati hari dengan pasti, namun tak terarah. Seperti peluru nyasar dari pistol seorang polisi yang sedang mabuk dan berusaha untuk menangkap seorang penjahat, yang waras tanpa pengaruh alkohol kemaksiatan. Ada yang kena tembok, ada yang tepat mengenai seekor semut yang sedang sibuk mengangkat makanannya, bahkan ada pula yang mengenai dada seorang ibu yang yang sedang menyusui anaknya, sehingga kepala anak yang disusuinya hancur ditembus timah panas itu. Mungkin gambaran ini tidak membuat jelas akan keadaan diriku, atau sebaliknya karena aku sendiri bingung. Kesadaran ini, datang dari sebuah kebingungan yang muak dengan kebingungan itu sendiri, sehingga aku sendiri kurang mengerti.
Aku pernah mendengar satu hal yang mungkin memberiku kesempatan, untuk mengetahui apa yang terjadi, disebuah percakapan yang aku lupa, kapan dan dengan siapa. Isinya adalah tentang siklus perubahan mental dan pemikiran manusia selama manusia itu hidup

Manusia

Janganlah kau berharap banyak pada seseorang karena orang hanyalah makhluk yang proses penciptaannya menjijikan. Berasal dari air mani yang keluar dari lubang kencing dan dimasukan kedalam lubang kencing juga dengan cara yang menjijikan, setelah itu dikeluarkan lagi dari lubang kencing juga, oleh karena itu tidak mengherankan kalo orang terkadang menjijikan.

GILA

Apakah orang gila menyadari bahwa dirinya gila, atau hanya mengetahui bahwa dirinya disebut gila ? tanyalah pada dirimu sendiri jika memang kau mempunyai diri!
Seperti itulah saat orang jatuh cinta atau saat orang bersengketa dengan cinta! Benarkah?
Pertama bingung menjadi penguasa dalam kebisuan lidah, kemudian gelisah menyengat semua yang mendekatinya, lalu kebahagiaan yang bermuka naif berbicara lantang menjatuhkan kekecewaan dan begitu juga saat kekecewaan berdiri mengacungkan pedangnya, dia memenggal semua leher yang seharum manisnya perasaan seorang pemuja suka hati manusia.
Semua muka dalam seribu muka yang bersemayam sedalam hati telah menunjukkan sorot mata seorang manusia dalam bentuk semanusia-binatang. Lantang menelan lancang, layaknya tingkah prajurit berharap menginjak singgasana istana yang mengatur hidupnya dan keluarganya bahkan hidup binatang yang hidup dirumahnya. Muka itu lupa akan kepala yang ditumpanginya.
Pertempuren menjadi sebuah kerajaan yang dipimpin mata dan hati yang selalu bertahta tanpa singgasana keangkuhan. Rakyatnya adalah darah yang selalu berwarna kuning, disemir kehijauan angan yang menjadi harapan terkabul bahkan tergantung. Semua dalam perbatasan dinding pernyataan pengakuan kehidupan yang berambisi menjadi puncak keegoisan yang pernah lahir didunia, menahan tangan iri yang berkuku dengki dan kaki halus yang berkulit ketulusan berbulu senyum bermimpi untuk menjadi kudeta bermata satu.

Perihal rasa...

Akhirnya aku kumpulkan semua keraguan, keberanian, keyakinan, kegelisahan, menjadi satu dalam sebuah kata yang selalu menjadi berat ketika perasaan ingin ikut berbicara. Kekuatanku ternyata lebih hebat dari kata itu, sehingga kata itu berhasil aku sampaikan padanya, kusampaikan dengan bungkus seadanya, kubiarkan kata itu tertiup angin, agar aku tidak merasa semua menjadi sekadar mimpi.
Tak ada yang bisa melihat dan mendengar kata ini kecuali cinta, dan kenyataan telah berlalu sehingga semua hanya mengalir tanpa arus pasti, menerbangkan kejujuranku pada perasaan dan hatinya, walaupun mungkin tak menggoyahkannya sehelai rambutpun. Kenyataan dan waktu bersekongkol melawan semua keinginanku, meruntuhkan semua kata yang susah payah aku kumpulkan, menenggelamkanku dalam kegundahan yang selalu kutakuti saat aku mengalami perasaan ini, dan ........entahlah ..............entahlah...............
Tak pantas memang aku menyalahkan semua ini pada semua hal yang menentangku, tetapi......., yah memang semua sanggahan menguasai seluruh benakku, karena semua isi hatiku yang telah kukeluarkan dengan segenap kekuatan yang ada padaku tanpa ingin aku mengotori kejujuranku, kejujuranku bahwa aku dan perasaanku sepakat untuk berbicara lantang ingin memilikimu.